Oleh : Naswa Amelia Supriyanova
Hindia-Belanda, tahun 1922. Tak terasa tahun ajaran baru akan segera dimulai kembali di Hoogere Burgerschool (HBS). Sekolah yang didirikan oleh pemerintah Hindia-Belanda untuk orang-orang keturunan Belanda, Eropa, Tionghoa, dan kaum pribumi yang terpandang. Meskipun pribumi juga dapat bersekolah di sana, mereka hanyalah minoritas di antara sekumpulan orang-orang berkulit putih. Ya, begitulah mereka.
Pada dasarnya perlakuan diskriminasi berdasarkan kasta masih belum luput dan menjadi kesenjangan tersendiri bagi kaum pribumi. Hal itu membuatku teringat dengan papa dan mama ketika masih di Netherlands. Papa selalu bilang bahwa pribumi adalah sekumpulan makhluk menjijikkan yang levelnya jauh berbeda dengan kami orang Eropa. Berbeda dengan papa, mama justru sangat menghormati dan selalu berlaku baik pada kaum pribumi. Tindakan mereka yang bertolak belakang tentu membuatku bingung.
Sedari kecil, lingkungan tumbuh kembangku selalu dipengaruhi oleh kedua orang tuaku yang memang memiliki pola pikir berbeda tentang Hindia-Belanda. Papa melihatnya sebagai uang dan bisnis, sedangkan mama melihatnya sebagai tanah subur di mana orang-orang dengan budi pekerti luhur lahir. Sejujurnya aku sendiri lebih condong dengan pemikiran mama. Aku jatuh cinta dengan cara pandangnya terhadap kaum yang tertindas.
“Oh papa. Tidak seharusnya kau menghina pribumi seperti itu,” gumamku di antara sunyinya langit malam.
Pengasuhku adalah seorang pribumi. Para pekerja di rumahku pun sebagian besar adalah orang pribumi. Seringkali aku melihat papa memperlakukan mereka dengan kasar dan tak manusiawi. Ketika melihatnya, entah mengapa sebagian dari jiwaku sedikit terusik. Saat itu, aku baru menyadari sesuatu, “Mama, sekarang aku mengerti apa yang engkau rasakan.”
“Loh? Nona Leyla kenapa masih belum tidur to?” suara lembut nan familiar itu berhasil membuyarkan seluruh lamunanku. Aku sontak berbalik untuk melihat sang pemilik suara.
Kini, Mbok Yatna berdiri tepat di depan pintu kamar. Balutan kebaya cokelat yang sudah menjadi ciri khasnya itu masih terlihat anggun saat malam. “Nona, seharusnya jam segini sudah tidur. Besok kan sudah mulai masuk sekolah lagi,” tutur Mbok Yatna lembut.
Aku hanya tersenyum dan memberi tanda agar Mbok Yatna masuk dan duduk di sebelahku. Awalnya ia ragu dan menolak, tetapi aku berusaha meyakinkannya. Mbok Yatna akhirnya menurut meskipun keraguan masih nampak jelas di wajahnya. Wanita paruh baya itu sudah sangat dekat denganku sejak kecil, ia adalah pengasuhku yang begitu sabar dan baik hati. “Leyla tidak bisa tidur, Mbok. Bisa tolong bawakan sebuah cerita untuk Leyla?” ucapku dengan nada memohon.
Mbok Yatna menghela napas kasar, ia kemudian mengelus kepalaku lembut. “Ya sudah, sini biar Mbok ceritakan sebuah kisah singkat yang mungkin akan membuat Nona Leyla langsung tertidur.”
“Memangnya kisah tentang apa yang akan Mbok Yatna ceritakan?”
Wanita paruh baya itu tak langsung menjawab, ia tersenyum penuh arti. Perlahan dari mulutnya, terdengar sebuah kisah yang berhasil membuatku ikut masuk ke dalam seluk beluk kehidupan dengan sudut pandang yang berbeda. Kini, aku mulai tenggelam dalam imajinasi.
***
“Ningrum, tidak bisakah kamu mengajariku bahasa Jawa dengan bahasa yang lebih mudah dimengerti? Sungguh, aku benar-benar sulit untuk mencerna kalimatmu,” pinta seorang gadis cantik dengan rambut pirang berkilau saat terkena cahaya matahari pagi.
“Aku sudah mengajarimu berulang kali dengan bahasa yang mudah dimengerti untuk orang sepertimu, Emilia.”
Ningrum mulai lelah dan kesal karena harus menghadapi sahabatnya yang selalu mengeluh kesulitan karena masih belum paham dengan bahasa Jawa. Sebelum-sebelumnya, Ningrum sudah pernah mengajari Emilia tentang bahasa Jawa meskipun hanya sepintas, itu juga karena Emilia sendiri yang menginginkannya. Ia begitu antusias. Hanya saja, gadis berdarah Eropa itu masih belum sepenuhnya memahami bahasa Jawa sehingga Ningrum harus berusaha lebih keras lagi untuk mengajarinya.
Mereka berdua memiliki hubungan persahabatan yang terjalin begitu baik. Walau perbedaan di antara mereka sendiri tak dapat dielakkan. Emilia adalah seorang gadis dari keluarga bangsawan Eropa, sedangkan Ningrum adalah seorang pribumi. Akan tetapi di sini Ningrum bukanlah pribumi biasa. Ia adalah pribumi elite yang berasal dari keluarga bupati.
Karena status sosial mereka yang tinggi, Ningrum dan Emilia tentu dapat dengan mudah menjalin hubungan pertemanan. Mereka pertama kali bertemu di sebuah acara jamuan makan malam yang diadakan oleh salah satu keluarga bangsawan Eropa. Pada saat itu, orang tua Ningrum dan Emilia saling bertemu dan mulai bercakap-cakap hingga membuat mereka bosan.
“Pssstt… Hei, mau bermain di luar? Percakapan orang dewasa sangatlah membosankan dan membuat kantuk.”
Tanpa sadar saat itu Ningrum mengiyakan ajakan dari Emilia. Dari situlah hubungan keduanya menjadi lebih dekat dan akrab hingga kini.
“Rum, bagaimana jika kita pergi ke pasar?” Emilia kini mulai memasukkan kembali semua buku yang ia gunakan belajar sebelumnya ke dalam tas. Sementara Ningrum terlihat berpikir sejenak untuk menjawab ajakan dari gadis berambut pirang itu.
“Memangnya apa yang ingin kamu beli di pasar, Emilia?” tanya Ningrum penasaran.
“Tidak ada yang ingin kubeli. Aku hanya ingin pergi ke pasar untuk meringankan beban di kepala. Bagaimana? Apa kamu mau, Rum?”
Dalam batin Ningrum, rasa keraguan tiba-tiba muncul dan menggoyahkan jawaban awalnya, tetapi ia kemudian menepis segala keraguan itu dan mencoba untuk berpikir positif. “Baiklah, kita akan pergi ke pasar sekalian jalan-jalan. Lagipula kamu juga butuh waktu untuk bersantai setelah belajar. Ayo!”
Emilia bersorak kegirangan dan segera meraih tangan Ningrum. Mereka kemudian berjalan beriringan menapaki setiap tanah yang dihiasi dengan pemandangan alam yang begitu elok. Hamparan sawah terbentang luas sejauh mata memandang, begitu menyejukkan mata. Tampak pula para petani yang sibuk dengan pekerjaan mereka di tengah sawah. Sesekali Ningrum dan Emilia menyapa mereka. Para petani itu tentu menjawab sapaan Ningrum dan Emilia dengan begitu sopan, bahkan ada pula yang sampai berlutut.
“Eh, paman tak perlu berlutut seperti itu. Ayo, berdirilah!” Emilia menghampiri salah seorang petani yang berlutut itu dan menuntunnya untuk berdiri.
“Tidak apa-apa, Nona. Lagipula memang sudah seharusnya pribumi rendahan seperti saya menghormati anda dengan cara seperti ini,” jelas petani tersebut.
Mendengar ucapan dari sang petani, Emilia menggeleng dan mengerutkan keningnya. “Tak perlu bersikap seperti itu paman. Kita sama-sama manusia, sudah seharusnya kita untuk saling menghormati dan menghargai sesama, tetapi tidak perlu berlebihan seperti ini. Memangnya kenapa jika paman pribumi? Apakah harus selalu bertekuk lutut pada bangsaku? Tentu saja tidak! Bagi saya, semua manusia itu setara.”
Para petani lain yang ikut mendengar seruan dari Emilia tertegun. Baru kali ini mereka merasa sangat dihargai dan dihormati oleh orang berdarah Eropa. Mayoritas orang Eropa yang mereka temui sangatlah angkuh pada pribumi rendahan seperti mereka dan selalu mengolok- olok dengan sebutan yang tak sepantasnya diucapkan.
“Tak kusangka bahwa Eropa sepertinya bisa memiliki pemikiran seperti itu. Aku benar- benar kagum!”
“Ya, kamu benar. Selama ini aku belum pernah sekalipun melihat orang Eropa yang mau berlaku baik pada kita, sedangkan gadis ini benar-benar berbeda. Dia tahu cara menghormati orang lain dan tak mau memandang rendah pribumi seperti kita.”
“Meskipun hanya segelintir, tapi aku yakin bahwa ada juga orang yang memiliki pola pikir cemerlang sama seperti dirinya di tanah ini.”
Bisikan-bisikan dari para petani lain masih dapat didengar oleh Ningrum. Sedari tadi ia melihat Emilia dengan tatapan bangga. Ia senang karena sahabatnya itu tak seperti bangsanya yang lain. Emilia senang bergaul dan berbicara dengan siapa saja, tak peduli jika orang itu derajatnya lebih rendah ataupun lebih tinggi. Karena baginya, semua manusia itu setara.
“Huh! Dia itu hanya ingin mencari muka saja…”
Seorang pemuda dengan tubuh jangkung berdiri tak jauh dari tempat Ningrum berpijak di pinggir sawah. Hanya dengan melihatnya saja sudah bisa Ningrum simpulkan bahwa pemuda itu adalah seorang Sinyo, anak laki-laki dari hasil peranakan Indo-Eropa. Ia mengenakan setelan jas berwarna putih gading dan dihiasi dengan topi khas di kepala. Dari wajahnya pun terlihat sangat jelas bahwa ia adalah campuran.
“Sepertinya Anda terlihat tidak menyukai tindakan teman saya,” Ningrum membuka obrolan secara tiba-tiba dengan sang pemuda keturunan Indo-Eropa itu.
Tepat setelah melayangkan satu kalimat, sang Sinyo melirik Ningrum. Ia melihat Ningrum dari ujung kepala hingga ujung kaki seolah gadis itu adalah pencuri yang tengah menyembunyikan barang curiannya.
“Koe mesti seorang Raden Ajeng,” ucap sang Sinyo dengan nada tak ramah. Ia mulai berjalan mendekati Ningrum dan membiarkan jarak di antara mereka hanya tersisa dua langkah.
“Saya Austin Hubert, senang bertemu dengan Raden Ajeng.”
Austin Hubert, kini Ningrum sudah tahu namanya. Ia tersenyum lalu membalas salam perkenalan dari Austin, “Senang bisa bercakap dengan Anda, Tuan Hubert. Di sini, cukup panggil saya Ningrum tanpa menggunakan Raden Ajeng.”
Sesaat setelah mendengar balasan dari Ningrum, Austin tertawa. Ia kemudian mengangguk mengerti lalu beralih melihat Emilia yang masih bersama dengan para petani di tengah sawah. “Apakah Anda berteman dengan gadis itu?” tanyanya sambil tersenyum remeh.
“Ya, dia adalah sahabatku. Apakah ada masalah, Tuan Hubert?”
“Ngomong-ngomong, panggil saja aku Austin, Raden Ajeng. Anda juga menyuruh saya memanggil Anda langsung dengan nama tanpa menggunakan gelar Raden Ajeng, bukan?”
Ningrum mengangguk paham dan kemudian memanggil Austin langsung dengan namanya, “Baiklah kalau begitu, Austin.”
Situasi di antara keduanya sedikit canggung hingga menciptakan keheningan di antara mereka. Keheningan itu kemudian tak berlangsung lama karena Austin kembali mengatakan suatu hal yang membuat Ningrum tersinggung.
“Temanmu sangat pintar dalam mengambil hati pribumi rendahan seperti para petani itu, Ningrum. Aku heran dengan gadis itu karena bisa-bisanya dia bergaul dengan para inlander. Padahal darah Eropa begitu kental mengalir di dalam tubuhnya. Seharusnya dia tak bergaul dengan mereka. Dia itu hanya ingin dipuja puja bak seorang dewi yang begitu mulia hatinya.”
Ucapan Austin berhasil memanggil amarah Ningrum. Ia tak terima jika sahabatnya dicibir oleh Sinyo yang tak tahu diri. “Bisa-bisanya kamu berkata seperti itu, Austin! Tidak sadarkah kamu jika dalam tubuhmu itu tidak hanya mengalir darah Eropa saja?” sindir Ningrum dengan tenang dan tetap berkepala dingin. Ia harus bisa mengendalikan diri di situasi seperti ini.
“Hoe aanmatigend van je!” seru Austin tak terima dalam bahasa Belanda. “Tak habis pikir!
Beginikah sikap seorang Raden Ajeng yang begitu disanjung dan dihormati?”
Tak terima dengan ucapan Austin, Ningrum mendekatkan wajahnya pada Austin dan memasang wajah tegas. “Gak usah gowo-gowo gelar Raden Ajeng seng lagi tak sandang, Austin Hubert!”
Kini Ningrum dan Austin sama-sama melemparkan tampang tak suka. Situasi di antara keduanya semakin memanas.
“Hei, ada apa ini? Jangan membuat keributan di sini!”
Di tengah keadaan yang semakin memanas itu, Emilia datang di waktu yang tepat. Ia kemudian memisahkan Ningrum dan Austin. Sebenarnya, Emilia sudah merasakan firasat buruk ketika ia melihat seorang pemuda yang tak ia kenal tiba-tiba menatapnya dari kejauhan. Hingga saat ia berbalik sekali lagi, pemuda itu sudah mendekati sahabatnya, Ningrum.
Awalnya Emilia berpikir bahwa Ningrum dan pemuda tersebut saling mengenal, terlihat dari mereka yang mengobrol dengan begitu santai. Namun, Emilia salah besar. Keduanya justru memperlihatkan gelagat yang tak biasa, sehingga Emilia pun mendatangi mereka.
“Bagaimana jika ada warga yang melihat kalian? Apa kalian tidak malu?” tukas Emilia berusaha membuat keduanya tenang.
Ningrum dan Austin hanya terdiam. Mereka saling memasang wajah tak suka. Keduanya masih tersulut emosi. Meskipun begitu, Ningrum tahu bahwa di setiap situasi ia harus tetap tenang dan selalu berkepala dingin. Maka dari itu ia mulai mengendalikan emosinya. Gadis itu menghela napas dalam-dalam dan menghembuskannya lembut. “Emilia, pemuda ini sebelumnya mengolok-olok dirimu, lalu aku tak terima. Jadi, aku tersulut emosi ketika dia mengucapkan hal-hal yang tak benar tentang dirimu,” jelas Ningrum.
“Hei, tak benar bagaimananya? Sahabatmu ini kan memang ingin mencari simpati dari para inlander itu,” lagi-lagi ucapan Austin membuat Ningrum mengerutkan kening. Sungguh, ia sudah lelah untuk menimpalinya.
Melihat sahabatnya yang selalu sabar setiap menghadapi masalah membuat Emilia ikut menimpali Austin. “Hoe heet je?”
“Austin Hubert,” sahut Austin ketika Emilia menanyakan namanya.
“Salam kenal, Austin. Aku Emilia Wilder,” Emilia sedikit membungkuk dan mengangkat gaun putihnya yang indah. “Sepertinya kamu begitu mengagung-agungkan darah Eropa yang mengalir di tubuhmu sehingga lupa diri jika kamu adalah campuran. Tuan Hubert, anda sangatlah sombong! Pantas saja para pribumi lain mengira bahwa orang Eropa sama saja, selalu berlaku kasar dan sering menindas. Pada dasarnya semua itu tidak sepenuhnya benar. Semua kembali ke pribadi masing-masing.”
Emilia mendekati Austin dan memandangnya dengan tatapan jijik. “Tidak semua orang Eropa jahat, dan itu memang benar, meski hanya segelintir. Tetapi jika kasusnya seperti dirimu, kurasa orang Eropa sekalipun tak akan mau bergaul dengan orang sombong sepertimu, Austin.”
“Siapa yang menanam, dia yang akan menuai hasilnya. Jika kamu menanam keburukan, maka bersiaplah dengan hasil yang akan kamu tuai nantinya.”
***
“Lalu? Apa yang terjadi selanjutnya pada Austin Hubert, Mbok?” aku begitu penasaran dengan kelanjutan ceritanya. Mbok Yatna tiba-tiba menghentikan kelanjutan cerita tersebut hingga terasa menggantung di akhir cerita.
“Akhirnya, Austin pergi meninggalkan Ningrum dan Emilia dengan wajah merah. Ia sebenarnya sedang memendam amarah karena merasa harga dirinya dinodai. Para petani yang menyaksikan kejadian itu pun mencibir Austin yang merupakan Sinyo angkuh. Dan pada akhirnya, pandangan pribumi terhadap Eropa pun mulai berubah. Memang benar jika masih banyak orang Eropa yang jahat terhadap kaum pribumi, tetapi itu tidak menutup kemungkinan jika ada pula orang berdarah Eropa yang baik. Seperti mama Nona Leyla!” Mbok Yatna menutup cerita itu dengan mencubit hidungku.
Aku mengaduh kesakitan dan bangkit dari tempat tidur. Mbok Yatna hanya terkekeh kecil. Setelah cerita itu berakhir, keheningan mulai menguasai kami. Namun aku tak suka jika ada keheningan di saat seperti ini. Akhirnya, aku pun mulai berbicara.
“Mbok, cerita yang Mbok sampaikan mengingatkanku pada mama dan papa. Mereka kan juga memiliki pola pikir yang bertolak belakang sama seperti yang Mbok ceritakan. Austin Hubert adalah gambaran dari papa, sedangkan Emilia Wilder adalah gambaran dari mama.”
Ketika mendengar ucapanku, Mbok Yatna tersenyum lebar. Rasanya seperti ada sesuatu yang ia sembunyikan. “Ada apa sih Mbok? Kok senyumnya begitu?”
Mbok Yatna masih saja tersenyum, entah apa yang membuatnya tersenyum sumringah begitu. Jika aku bisa membaca pikiran manusia, sudah sejak tadi aku mengetahui penyebabnya. Tapi aku tentu tak bisa membaca pikiran manusia.
“Wes, wes! Ayo ndang turu, Non. Sesok wes sekolah,” ujarnya dalam bahasa Jawa yang artinya ia menyuruhku untuk segera tidur karena besok aku sudah harus berangkat sekolah di HBS. Aku masih bisa mengerti bahasa Jawa meski hanya sedikit. Yang mengajariku pertama kali adalah mama, lalu setelah itu aku mencoba untuk lebih memahaminya dengan belajar bersama Mbok Yatna. “Ya sudah. Leyla langsung tidur saja. Goedenacht, Mbok Yatna!”
Wanita paruh baya dengan balutan kebaya cokelat itu pun mengangguk dan mulai mematikan pencahayaan yang ada di kamarku. Ia lalu berjalan ke luar dan mulai menutup pintu. Sebelum menutup pintu, wanita itu mengatakan sesuatu padaku. “Nona Leyla!”
“Ya, ada apa Mbok?”
Mbok Yatna tersenyum, “Tetaplah berbuat baik pada siapa saja dan jangan memiliki sifat angkuh. Tak perlu juga memandang derajat dari orang tersebut. Karena sejatinya, semua manusia itu setara di mata tuhan.”
Aku mengangguk dan tersenyum. Mbok Yatna akhirnya menutup pintu kamar dengan rapat. Aku segera menarik selimut dan mulai untuk tidur. Perlahan pandanganku mulai kabur. Di tengah kekaburan yang menyelimuti penglihatan, tanpa sadar aku menggumamkan sesuatu.
“Emilia ya? Namanya sama seperti mama.”
Selesai…